MASIH ADAKAH DEMOKRASI DI INDONESIA??
Oleh:
Avinda Fachrunisa / 121610001
Hendrikus
Yoshua Hadiningrat / 121610010
Imelia Carolina Tedja / 121610011
Ruben
Tanujaya / 121610020
Timothy
Kevin Ananta / 121610025
Demokrasi adalah bentuk
atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan
kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh
pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias
politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan
legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas
(independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran
dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga
negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang
diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap
sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi
modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan
definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan
perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.Kata “demokrasi” berasal dari
dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti
pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang
lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu
politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai
indikator perkembangan politik suatu negara.
Indonesia saat ini adalah
negara kesatuan yang menganut paham demokrasi pancasila yang sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia. Secara umum pengertian dari demokrasi Pancasila
adalah demokrasi yang pelaksanaannya mengutamakan asas musyawarah mufakat untuk
kepentingan bersama (seluruh rakyat). Demokrasi pancasila yang dianut oleh
Indonesia memiliki ciri-ciri khusus yaitu: bersifat kekeluargaan dan gotong
royong, menghargai hak asasi manusia serta menjamin hak-hak minoritas,
musyawarah untuk mufakat, dan bersendi atas hukum. Bangsa Indonesia adalah
bangsa yang ideologinya terdapat dalam Pancasila, oleh karena itu setiap sila
yang terdapat dalam Pancasila harus diaplikasikan dalam kehidupan setiap
rakyatnya sehari-hari untuk menunjang kemajuan negara kita.
Namun
dalam praktek atau pelaksanaan demokrasi khususnya di Indonesia, tidak berjalan
sesuai dengan teori yang ada. Demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia belum
mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Partisipasi warga
negara dalam bidang politik pun belum terlaksana sepenuhnya. Untuk memaparkan
lebih lanjut, permasalahan demokrasi yang ada perlu dikelompokkan lagi menjadi
tiga hal, yaitu dari segi teknis atau prosedur, etika politik, serta sistem
demokrasi secara keseluruhan.
Dari
segi teknis atau prosedur, demokrasi di Indonesia sesungguhnya sudah
terlaksana. Hal ini dapat dibuktikan dengan terlaksanakannya pemilu pada tahun
1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009 untuk pemilihan
calon legislatif (Pileg) dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden
(Pilpres). Bahkan, pemilu Indonesia tahun 1999 mendapat apresiasi dari dunia
internasional sebagai Pemilu pertama di era Reformasi yang telah berlangsung
secara aman, tertib, jujur, adil, dan dipandang memenuhi standar demokrasi
global dengan tingkat partisipasi politik ketika itu adalah 92,7%.
Namun
sesungguhnya pemilu 1999 yang dipandang baik ini mengalami penurunan
partisipasi politik dari pemilu sebelumnya yaitu tahun 1997 yang mencapai 96,6
%. Tingkat partisipasi ppolitik di tahun berikutnya pun mengalami penurunan,
dimana pada pemilu tahun 2004, tingkat partisipasi politik mencapai 84,1 % untuk
pemilu Legislatif, dan 78,2 % untuk Pilpres. Kemudian pada pemilu 2009, tingkat
partisipasi politik mencapai 10,9 % untuk pemilu Legislatif dan 71,7 % untuk
Pilpres.
Menurunnya
angka partisipasi politik di Indonesia dalam pelaksanaan pemilu ini berbanding
terbalik dengan angka golput (golongan putih) yang semakin meningkat. Tingginya
angka golongan putih ini menunjukkan apatisme dari masyarakat di tengah pesta
demokrasi, karena sesungguhnya pemilu merupakan wahana bagi warga negara untuk
menggunakan hak pilihnya dalam memilih orang-orang yang dianggap layak untuk
mewakili masyarakat, baik yang akan duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maupun Presiden dan Wakil Presiden.
Hak
untuk memilih atau mengemukakan pendapat tergolong sebagai Hak Asasi Manusia
yang pelaksanaannya dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (3). Tingginya angka
golput mungkin berasal dari pandangan masyarakat yang memandang bahwa hak asai
manusia merupakan suatu kebebasan, yang dalam hal ini adalah kebebasan untuk
menggunakan hak pilihnya ataupun tidak. Memang tidak ada aturan atau hukum yang
menjerat bagi orang-orang yang tidak turut serta berpartisipasi politik dalam
pemilu, namun apabila terus dibiarkan angka golput terus meningkat. Hal ini
menimbulkan kekhawatiran terhadap demokrasi Indonesia yang akan semakin tidak
berkualitas akibat rendahnya partisipasi dari para warganya.
Yang
kedua adalah demokrasi dipandang dari segi etika politiknya. Secara
substantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subyek
sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait erat
dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian
moral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subyek etika. Walaupun dalam konteks
politik berkaitan erat dengan masyarakat, bangsa dan negara, Etika politik
tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih
meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada
hakikat manusia sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya.
Masih
mengambil contoh yang sama yaitu mengenai pemilihan umum, dimana pemilihan umum
yang seharusnya terjadi sebagaimana tercantum dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945
adalah pemilihan umum secara langsung dan umum, sera bersifat bebas, rahasia,
jujur, dan adil. Namun bagaimanakah etika politik dari para aktor dalam
pemilihan umum, khususnya calon pemerintah dan calon wakil rakyat di Indonesia
?
Pemilihan
umum di Indonesia merupakan arena pertarungan aktor-aktor yang haus akan
popularitas dan kekuasaan. Sebagian besar petinggi pemerintahan di Indonesia
adalah orang-orang yang sangat pandai mengumbar janji untuk memikat hati
rakyat. Menjelang pemilihan umum, mereka akan mengucapkan berbagai janji
mengenai tindakan-tindakan yang akan mereka lakukan apabila terpilih dalam
pemilu, mereka berjanji untuk mensejahterakan rakyat, meringankan biaya
pendidikan dan kesehatan, mengupayakan lapangan pekerjaan bagi rakyat, dan
sebagainya.Tidak hanya janji-janji yang mereka gunakan untuk mencari
popularitas di kalangan rakyat melalui tindakan money politics.
Perbuatan
tersebut adalah perbuatan yang tidak bermoral dan melanggar etika politik. Hak
pilih yang merupakan hak asasi manusia tidak bisa dipaksakan oleh orang lain,
namun melalui money politicssecara tidak langsung mereka mempengaruhi
seseorang dalam penggunaan hak pilihnya. Selain itu, perbuatan para calon
petinggi pemerintahan tersebut juga melanggar prinsip pemilu yang langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Tindakan mempengaruhi hak pilih
seseorang merupakan perbuatan yang tidak jujur, karena jika rakyat yang
dipengaruhi tersebut mau memilihnya pun hanya atas dasar penilaian yang
subyektif, tanpa memandang kemampuan yang dimiliki oleh calon tersebut.
Tindakan ini juga merupakan persaingan yang tidak sehat dan tidak adil bagi
calon lain yang menjadi pesaingnya.
Apabila
calon petinggi pemerintahan yang sejak awal sudah melakukan persaingan tidak
sehat tersebut berhasil menduduki jabatan pemerintahan, tentu sangat diragukan
apakah ia dapat menjalankan pemerintahan yang bersih atau tidak. Terbukti
dengan begitu banyaknya petinggi pemerintahan di Indonesia saat ini, khususnya
mereka yang duduk di kursi DPR sebagai wakil rakyat, yang terlibat kasus
korupsi. Ini adalah buah dari kecurangan yang mereka lakukan melalui money
politics dimana mereka sudah mengaluarkan begitu banyak dana demi membeli
suara rakyat, sehingga ketika mereka berkuasa mereka akan cenderung
memanfaatkan kekuasaannya yang antara lain bertujuan untuk mengembalikan uang
yang telah mereka keluarkan tersebut.
Tidak
hanya korupsi, sikap atau perilaku keseharian para wakil rakyat tersebut juga
tidak menunjukkan etika politik yang baik sebagai seseorang yang seharusnya
mengayomi dan menjadi penyambung lidah rakyat demi mencapai kesejahteraan
rakyat. Mereka kehilangan semangat dan tekad untuk membela rakyat yang
bertujuan pada tercapainya kesejahteraan rakyat, yang mereka ungkapkan ketika
masih menjadi calon wakil rakyat. Mereka kehilangan jatidiri sebagai seorang
pemimpin dan justru menyalahgunakan kepercayaan rakyat terhadap mereka demi
kepentingan pribadi dan kelompok. Terbukti banyak anggota DPR yang menginginkan
gaji tinggi, adanya berbagai fasilitas dan sarana yang mewah yang semuanya itu
menghabiskan dana dari rakyat, dalam jumlah yang tidak sedikit. Hal ini tidak
sebanding dengan apa yang telah mereka lakukan, bahkan untuk sekedar rapat saja
mereka tidak menghadiri dan hanya titip absen, atau mungkin hadir namun tidak
berpartisipasi aktif dalam rapat tersebut. Sering diberitakan ada wakil rakyat
yang tidur ketika rapat berlangsung.
Terakhir
atau yang ketiga adalah permasalahan demokrasi dipandang dari
segi sistemnya secara keseluruhan, mencakup infrastruktur dan
suprastruktur politik di Indonesia.Infrastruktur politik adalah mesin
politik informasl berasal dari kekuatan riil masyarakat, seperti partai politik
(political party), kelompok kepentingan (interest group), kelompok penekan
(pressure group), media komunikasi politik (political communication media), dan
tokoh politik (political figure). Disebut sebagai infrastruktur politik
karena mereka termasuk pranata sosial dan yang menjaid konsen masing-masing
kelompok adalah kepentingan kelompok mereka masing-masing.
Sedangkan
suprastruktur politik (elit pemerintah) merupakan mesin politik formal di suatu
negara sebagai penggerak politik formal. Kehidupan politik pemerintah bersifat
kompleks karena akan bersinggungan dengan lembaga-lembaga negara yang ada,
fungsi, dan wewenang/kekuasaan antara lembaga yang satu dengan yang lainnya.
Dalam perkembangan ketatanegaraan modern, pada umunya elit politik pemerintah
dibagi dalam kekuasaan eksekutif (pelaksanaan undang-undang), legislatif
(pembuat undang-undang), dan yudikatif (yang mengadili pelanggaran
undang-undang), dengan sistem pembagian kekuasaaan atau pemisahan kekuasaan.
Dalam
pelaksanaan demokrasi, harus ada hubungan atau relasi yang seimbang antar
komponen yang ada. Tugas, wewenang, dan hubungan antar lembaga negara itu pun
diatur dalam UUD 1945. Relasi atau hubungan yang seimbang antar lembaga dalam
komponen infrastruktur maupun suprasruktur, serta antara infrastruktur dengan
suprastruktur akan menghasilkan suatu keteraturan kehidupan politik dalam
sebuah negara. Namun tetap saja, penyimpangan dan permasalahan itu selalu ada
dalam kehidupan masyarakat yang beragam dan senantiasa berubah seiring waktu.
Dalam
lembaga legiflatif (DPR) misalnya, sebagai lembaga yang dipilih oleh rakyat,
dan kedudukannya adalah sebagai wakil rakyat yang sebisa mungkin harus
memposisikan diri sebagai penyambung lidah rakyat, megingat pemegang kekuasaan
tertinggu dalam negara demokrasi adalah rakyat (kedaulatan rakyat). Namun dalam
pelaksanaannya, lembaga negara tidak memposisikan diri sebagai penyampai
aspirasi rakyat dan representasi dari kehendak rakyat untuk mencapai
kesejahteraan, namun justru lembaga negara tersebut sebagai pemegang kekuasaan
dalam sebuah negara, dan rakyat harus tunduk terhadap kekuasaan tersebut. Hal
ini terlihat dari permasalahan yang baru saja ramai diperbincangkan di dunia
politik Indonesia yaitu masalah UU MD3 yang dibuat oleh anggota DPR, yang mana
pasal-pasal pada UU MD3 ini tidak menjunjung tinggi demokrasi dalam hal
kebebasan berpendapat bagi masyarakat luas melainkan malah memberikan kekebalan
yang lebih bagi anggota DPR. Salah satu pasal yang paling tidak menunjukkan
demokrasi adalah pasal 122 huruf k yang berbunyi “Mengambil
langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok
orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR”. Dapat
dilihat dengan jelas bahwa kebebasan rakyat dalam menyalurkan
pendapat-pendapatnya sangat dibatasi padahal DPR adalah salah satu tempat bagi
masyarakat untuk bisa menyalurkan aspirasinya kepada para pejabat negara.
Demokrasi
Bangsa Indonesia saat ini masih menggunakan demokrasi pancasila dimana
demokrasi ini sangat dijunjung dan dilaksanakan di komunitas yang kelompok
(Panti Jompo Siloam) kami datangi. Disini prinsip-prinsip yang dijunjung Bangsa
Indonesia juga dijalankan dan dijunjung oleh komunitas Panti Jompo Siloam ini
antara lain persamaan hak dan kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia, di
komunitas ini pun hak dan kewajiban bagi para orang lanjut usia yang tinggal
dan dititipkan di Panti Jompo Siloam ini sudah terpenuhi karena sebagai contoh
kongkritnya, para orang lanjut usia dirawat dengan baik, diberi kebebasan
dengan setiap sore bisa berjalan-jalan di sekitar lingkungan komunitas. Begitu
pula dengan pengurus komunitas mereka sudah menjalankan kewajiban dalam merawat
para orang lanjut usia yang dititipkan sementara pengurus-pengurus tersebut
juga mendapatkan imbalan atas kewajiban yang mereka jalankan. Prinsip lain
yaitu mewujudkan rasa keadilan sosial disini komunitas sudah mewujudkan prinsip
ini dapat dilihat dari meskipun para orang lanjut usia yang dititipkan di
komunitas ini tidak semua beragama kristiani, namun perlakuan pengurus kepada
para orang lanjut usia yang berbeda agama tidak berbeda dengan orang lanjut
usia yang beragama kristiani, di komunitas ini semua kegiatan bisa diikuti oleh
semua orang dan jika ada hari besar agama tertentu tetap dirayakan sesuai
dengan orang dengan agama yang bersangkutan. Dan prinsip lain yang dijalankan
adalah mengutamakan persatuan dan kekeluargaan, di komunitas ini hal tersebut
sudah dijalankan dan dilaksanakan dengan sangat baik, dapat dilihat dari
tindakan kongkrit yang dilakukan oleh pengurus komunitas ini dari hasil
pengamatan kelompok baik pengurus maupun orang lanjut usia yang berada di
komunitas ini tidak hanya berkomunikasi saat ada tugas (merawat orang lanjut
usianya) namun pada waktu senggang pun pengurus juga berbincang-bincang bahkan
besenda gurau dengan para orang lanjut usia yang ada di komunitas ini.
Permasalahan-permasalahan
demokrasi yang terjadi di Indonesia ini harus segera ditangani karena sudah
mencapai titik kritis. Apabila dibiarkan tanpa ada upaya penyelesaian,
demokrasi di Indonesia akan mati, dan negara Indonesia justru mengarah pada
negara dengan pemerintahan yang otoriter. Kedaulatan rakyat tidak lagi berlaku,
aspirasi rakyat melalui kebebasab pers terlalu dibatasi. Bahkan lembaga yang
bertugas sebagai penyampai aspirasi rakyat seperti DPR dan partai politik telah
beralih fungsi menjadi lembaga yang menjadi rumah bagi pihak-pihak yang
menginginklan popularitas, kekuasaan, dan kekayaan.
Jadi kita bisa katakan bahwa Demokrasi di Indonesia masih ada,karena dari artikel yang ada diataas masih bisa kita nyatakan Demokrasi di Indonesia masih ada, walaupun demokrasi di indonesia sendiri tidak terlalu baik namun tetap masih bisa dikatakan masih ada. dan juga demokrasi di Indonesia diharapkan menjadi lebih baik ke depanya
REFERENSI:
https://www.kompasiana.com/anik.prihatini/permasalahan-demokrasi-di-indonesia_5529d4126ea834e03d552d0c
Komentar
Posting Komentar